Novel The Good Boy on Campus

Posted on

Hari ini adalah hari pertamaku kuliah di Harvard University. Aku menatap cermin. Aku memakai jins putih dengan crop top lengan panjang warna hitam. Sangat membosankan? Ya, memang. Aku segera keluar dari kamarku, lalu ke dapur untuk membuat sarapan.

Rumahku sebenarnya di Florida. Aku tinggal di panti asuhan. Tapi mulai sekarang, aku tinggal di apartemen kecil ini sendirian agar lebih dekat dengan kampusku. Hanya perlu beberapa menit untuk mencapai kampus.

Aku menggoreng bacon dan telur. Setelah selesai aku langsung melahap semuanya. Tidak sampai dua menit makanannya habis. Tiba-tiba iPhone-ku berdering. Aku langsung mengangkatnya.

“Halo.”
“Lina?” jawab seorang wanita di seberang sana.
“Octavia? Ada apa?” tanyaku. Octavia adalah ibu angkatku di panti asuhan.

“Tidak, aku hanya ingin meneleponmu,” jawabnya. Aku tersenyum. Ia sangat khawatir sejak aku menerima beasiswa di Harvard. Itu karena mulai sekarang aku akan hidup seorang diri.
“Aku tidak apa-apa, Octavia,” jawabku.
“Ah, oke. Semangat ya, di sana. Dan jangan keluar malam hari,” ucapnya.
“Oke. Aku harus berangkat dulu, Octavia. Nanti kutelepon lagi kalau sudah pulang,” ucapku.
“Oke, bye.”

Aku menutup telepon lalu menyambar tas, sneakers-ku dan bergegas keluar dari apartemen. Aku menyetir mobil tuaku ke kampus. Setelah beberapa menit, akhirnya aku memarkirkan mobil dan bergegas keluar menuju gedung fakultas.

Fakultasku adalah Harvard Business School. Gedungnya benar-benar bergaya klasik. Sudah banyak mahasiswa ketika aku memasuki gedung.

Sepertinya semua mahasiswa baru. Aku tidak kenal siapa pun di sini. Aku menghela napas. Lalu semua mahasiswa baru diminta masuk ke sebuah ruang auditorium yang besar, dan cukup untuk menampung semua mahasiswa baru di jurusanku. Aku segera mencari kursi kosong yang berada di sebelah seorang perempuan yang sangat cantik berambut pirang.

Di sisi lainnya duduk seorang laki-laki tampan yang juga berambut pirang. Sekilas mereka tampak mirip.

Ketika aku duduk, perempuan berambut pirang itu menyadari kehadiranku, ia kemudian menyapaku.

“Halo, namaku Emily Hawkins, dan ini saudara kembarku Peter Hawkins,” ucap perempuan itu dengan sangat ramah.

“Salam kenal,” ucap Peter dari jauh.

Pantas mereka mirip, batinku.

“Iya salam kenal juga ya, namaku Charlina Spencer. Kau boleh memanggilku Lina,” jawabku.

“Oke, Lina,” ucapnya sambil tersenyum ramah. Tak lama acara penyambutan mahasiswa baru pun dimulai. Diawali dengan pidato dari dekan fakultas, lalu pidato dari beberapa dosen senior. Setelah itu MC kembali berbicara.

“Pidato selanjutnya adalah sambutan dari alumni, yang kini menjabat sebagai CEO Heaton Airlines. Mari kita sambut Andrew Heaton!”

Lalu tepat setelah itu, aku melihat seorang lelaki naik ke panggung, lelaki itu sangat tampan dalam balutan jas abu-abunya yang sepertinya sangat mahal. Kuamati wajah lelaki itu, mungkin sekitar dua puluh lima tahun. Andrew pun memulai pidatonya.

“Hihi, tutup mulutmu, Lina,” kikik Emily geli, membuatku memalingkan wajahku dari panggung dan menatap Emily.

“Apa? Aku tidak membuka mulutku,” ucapku.

“Sepertinya kamu tidak bisa melepaskan matamu dari laki-laki di panggung itu,” godanya. Aku memutarkan bola mataku.

“Aku tidak tertarik padanya,” ucapku langsung. Oke, aku akui dia memang cukup tampan, tapi kalau dilihat dari tampang dan gayanya, dia pasti player. Emily menatapku seolah tidak percaya.

“Sungguh? Apa kau serius? Perempuan normal pasti akan langsung tertarik ketika pertama kali melihat dia!” ucap Emily.

“Maaf mengecewakanmu, tapi aku tidak masuk dalam kategori ‘perempuan normal’. Aku hanya lagi mengobservasi dia, bukan tertarik padanya,” jawabku dengan muka datar. Aku lihat Peter seperti menguping pembicaraan kami. Emily mengangkat satu alisnya dan bertanya.

“Really?”

Aku hanya menganggukkan kepala.

“Wow, wow, wow! Aku tidak pernah bertemu perempuan sejenismu,” ucap Emily.

“Emily, kau berkata seolah aku ini manusia yang sudah punah,” jawabku dengan memasang muka what the hell.

“Hahaha! Bukan punah, tapi langka. Oh my god, aku sangat menyukaimu! Aku yakin kita bisa menjadi teman baik!” ucap Emily bersemangat. Aku tersenyum.

“Aku juga yakin begitu,” jawabku.

Tidak lama kemudian, Andrew Heaton selesai dengan pidatonya. Ruangan dipenuhi tepuk tangan yang lebih meriah dari pidato yang sebelum Andrew. Aku tidak begitu memperhatikan apa yang terjadi selanjutnya, tapi samar-samar aku mendengar sang MC menyebutkan nama yang familiar di telingaku.

“Mari kita sambut siswa pemenang beasiswa tahun ini, Charlina Spencer. Silakan maju ke panggung,” panggil MC-nya.

Oh shit, batinku. Tahu begini, setidaknya tadi aku memakai baju yang lebih pantas.

“Charlina Spencer? Bukankah itu namamu, Lina? Kau mahasiswa beasiswa?” tanya Emily terlihat cukup kaget. Aku hanya diam. Aku sangat malu untuk maju ke depan, di depan orang-orang yang tidak kukenal.

Untuk Charlina Spencer. Dipersilahkan maju,” panggil si MC lagi.
Aku harus lakukan ini, batinku. Aku menarik napas panjang. Perlahan-lahan aku berdiri dari kursiku, perhatian semua orang menjadi terpusat ke diriku. Sejujurnya, aku paling benci menjadi pusat perhatian.

Aku berjalan menuju panggung. Aku melihat Andrew Heaton menatapku. Aku tidak tahu mengapa, tapi tatapannya membuat badanku terasa tegang. Rasanya aku seperti terbakar oleh tatapannya.

Ketika sampai di panggung, aku berdiri dengan canggung di sebelah sang MC.

“Oke kalau begitu, penghargaannya bisa diberikan oleh Mr. Heaton dan Mr. Carter, dekan fakultas Harvard Business School. Silakan, Mr. Carter,” MC mempersilakan seorang pria lain maju. Andrew Heaton dan Mr. Carter memberikan penghargaan untukku. Aku berjabat tangan dengan Mr. Carter dan Andrew Heaton. Ketika berjabat tangan dengan Andrew Heaton, entah kenapa rasanya begitu nyaman.

Tangannya begitu besar dibandingkan tanganku yang kecil, tetapi aku langsung terbangun dari lamunanku. Setelah semua selesai, aku turun dari panggung, aku segera kembali ke kursiku.

“Kau tidak bilang kau mahasiswa beasiswa!” ucap Emily menyambutku
“Hebat, Lina,” ucap Peter.
“Kau kan tidak tanya,” ucapku sedikit malu. “Peter, terima kasih.”
“Kalau kau murid beasiswa artinya kau mahasiswa yang paling pintar di angkatan kita, Lina!” ucap Emily.

“Tidak, aku hanya sedang beruntung,” jawabku. Emily menatapku dengan tatapan aneh, tapi beberapa detik kemudian ia tersenyum manis. Setelah itu, acara terus berlanjut sampai selesai hingga dua jam lamanya. Ketika acara ditutup, kami pun diperbolehkan pulang.

Baru saja kami keluar dari auditorium ketika terdengar suara seseorang memanggil Emily dan Peter.

Dua orang laki-laki berdiri agak jauh dari auditorium. Salah satunya melambaikan tangan. Mereka berdua cukup tampan. Well, di Harvard banyak sekali lelaki tampan.

“Emilio, selamat! Sudah menjadi anak kuliahan, ya, sekarang!” ucap salah satu laki-laki. Dia mengacak-acak rambut pirang Emily.

“Jake! Jangan panggil aku Emilio, dan jangan acak-acak rambutku,” ucap Emily kesal. Pria yang dipanggil Jake itu hanya tersenyum manis.

Aku hanya menatap mereka berdua, tapi pada akhirnya Jake menyadari kehadiranku.

“Siapa ini? Teman barumu, Emilio? Apa kau tidak akan memperkenalkan teman barumu padaku, Em?” tanya Jake.

“Lina, ini Jake Parker, teman kecilku. Dia senior kita di sini. Dan Jake, ini Charlina Spencer, teman baruku,” ucap Emily dengan nada bosan.

“Salam kenal, Lina,” ucap Jake. Setelah itu dia langsung pergi karena Emily mengusirnya. Poor Jake.

“Em, aku mau mampir ke suatu tempat, duluan saja,” ucap Peter. Dia pun langsung pergi meninggalkan kami berdua.

“Eh ya, Lina, mau main ke rumahku?” tanya Emily. Aku melihat jam, baru pukul sebelas siang.

“Boleh, rumahmu di mana?” tanyaku.
“Tidak jauh dari sini, perjalanan sekitar dua puluh menit,” ucap Emily. “Oh ya, apa kau bawa kendaraan?” sambungnya.
“Bawa,” jawabku.
“Kalau begitu ikuti mobilku, ya,” katanya sambil mengeluarkan kunci mobilnya.
“Mobilmu yang mana?” tanyaku.
“Audi putih,” serunya sambil menunjuk mobil di depannya. Setelah itu, aku mengikuti mobil Emily dengan mobil bututku. Setelah beberapa menit, akhirnya kami sampai di sebuah mansion.
Wow!

Aku memarkirkan mobilku dan ikut masuk ke dalam mansion. Aku masih tercengang melihat betapa mewahnya rumah Emily. Mungkin wajahku sudah seperti orang bodoh yang linglung sekarang.

“Di mana orangtuamu?” tanyaku.
“Hmm? Orangtuaku tidak tinggal di sini. Mereka ada di New York. Di sini cuma ada aku, Peter, dan housekeeper,” jawab Emily.
Aku hanya ber-ooh sambil mengangguk-angguk. Ternyata Emily memang berasal dari keluarga kalangan atas. Kami segera ke kamar Emily yang super luas. Aku duduk di kasurnya.
“Hey, Em,” panggilku.
“Ya?” jawab Emily.
“Kamu pacaran dengan Jake, ya?” tanyaku penasaran.
“What? Of course not! Kenapa kau pikir aku pacaran dengan otak mesum itu?” ucapnya agak panik bercampur kesal.
“Kalian seperti mesra—akrab,” ralatku. Dia memutarkan bola matanya.

“Aku benci dia. Dulu, saat umurku empat belas tahun, aku memang pernah suka padanya, tapi dia tidak peduli, dan selalu berganti-ganti pacar, sedangkan aku selalu menunggu. Akhirnya perasaanku hilang. Sekarang dia juga masih sering berganti-ganti pacar. Lagi pula aku juga sedang berpacaran dengan laki-laki lain, so I don’t care now,” ucapnya panjang lebar.

“Wow, cinta bertepuk sebelah tangan? Menyedihkan. Sabar, ya,” ucapku.

Tetapi ternyata ceritanya belum selesai. Dia menceritakan semuanya. Dia bercerita tentang mantannya yang pernah berselingkuh, tentang Jake, dan lainnya kepadaku. Entah sudah berapa jam kami mengobrol.

“Kalau kamu sendiri gimana, Lin? Maksudku, apa kau memiliki mantan terburuk, gitu? Kalau aku, sepertinya tidak ada mantan terburuk karena semua mantanku payah, hahaha,” Emily terbahak.

“Aku tidak punya mantan. Aku belum pernah pacaran,” ucapku santai sambil menggigit Pocky rasa green tea. Aku lihat mata Emily membulat penuh, sepertinya dia sangat kaget. Terlalu berlebihan, menurutku.

“Kau tidak pernah pacaran? Sekali pun?” tanya Emily. Aku mengangguk.

“Lina, oh my god! I don’t believe it! I mean, how come? Kau sangat cantik, pintar, dan baik. Bagaimana mungkin kau tidak pernah pacaran?” ucapnya histeris sendiri.

“Kenyataannya aku tidak pernah pacaran,” jawabku.

“Tidak, tidak mungkin. Pasti banyak sekali laki-laki yang dekatin kamu! Aku yakin seratus persen,” ucapnya.

“Tidak banyak juga, tapi ada satu, dua,” jawabku santai.
“Kau memang benar-benar sesuatu, Lin!”
Aku hanya nyengir. Memangnya aneh kah, kalau orang seumurku belum pernah pacaran?
“Kenapa kau tidak mau pacaran?” tanya Emily tiba-tiba.

“Menurutku, pacaran tidak terlalu penting kalau ujung- ujungnya pasti putus, dan itu akan membuang-buang waktu. Lagi pula mereka masih kekanak-kanakan. Aku tidak suka cowok kekanak-kanakan. Aku belum pernah ketemu yang sudah dewasa selama ini,” ucapku.

“Ooh~ jadi Charlina sukanya cowok yang lebih tua? Oke, sini aku bantu cari. Mau lebih tua berapa tahun? Lima tahun? Sepuluh tahun? Lima belas tahun?” goda Emily. Aku tertawa kecil.

“Lelaki yang dewasa itu bukan berarti laki-laki yang lebih tua, tapi lelaki yang bertanggung jawab,” jawabku.

“Oohh, begitu,” sahut Emily.

Tiba-tiba dia menanyakan hal yang aneh, “Kalau kau belum pernah pacaran … berarti … kau masih prewi?” Aku memutar bola mataku.

“Oh c’mon, Em. Kau benar-benar serius menanyakan hal ini? Ini privasiku,” ucapku.

“Oh, ayolah, kasih tahu,” desaknya.

“Kau sendiri bagaimana, Em? Apa kau masih?” aku balik bertanya.
“Hah? Aku sih sudah tidak prewi,” jawabnya santai, seolah-olah bukan masalah besar.
“Dan kau baik-baik saja dengan itu?” tanyaku.
“Tentu saja, apa yang harus dipermasalahkan? Oke, ayo cepat jawab, jadi kamu masih prewi?” tanyanya memaksa. Aku pun menyerah.
“Tentu saja, bukannya sudah jelas?” jawabku.
“HEBAT! Bagaimana kau bisa masih prewi di umur sembilan belas tahun?” tanya Emily dengan nada tidak percaya.

“Karena aku selalu menjaga jarak dari laki-laki. Lagi pula aku tidak memiliki waktu. Jadi aku tidak pernah memberi mereka kesempatan untuk mendekatiku,” jawabku. Juga Octavia cukup over-protective padaku.

Emily menganggukkan kepalanya.

“Em, aku merasa tidak sopan menanyakan privasimu padahal kita baru kenal. Tapi aku penasaran, apa yang mengambil v-card-mu adalah Jake?” tanyaku.

Dia diam sejenak lalu menghela napas.
“Iya, tapi aku sudah melupakannya,” ucap Emily sambil mengangkat kedua bahunya. Tapi dari caranya menghindari tatapanku aku yakin, ia pasti masih ada perasaan pada Jake. Setelah beberapa lama, ruangan menjadi hening canggung.

“Oh ya, Lina! Bagaimana kalau hari Sabtu kau ikut bersamaku ke acara perayaan perusahaan tanteku?” Emily tiba-tiba berbicara dengan semangat.

“Acara tantemu? Tapi aku kan tidak kenal tantemu, Em, tidak sopan kalau aku datang. Bahkan aku tidak diundang.”
“Tenang saja, aku boleh mengajak teman sebanyak-banyaknya, dan aku ingin mengajakmu! Oh, pasti akan sangat menyenangkan! Kau harus ikut! Aku akan mengenalkanmu pada semua laki-laki di pesta nanti!” ucap Emily masih bersemangat.

Awalnya aku hanya menggelengkan kepalaku, tapi Emma tetap mendesakku untuk ikut sampai akhirnya aku pasrah.

“Oke, aku ikut. Tapi aku harus pakai baju apa? Semua baju pestaku kutinggal di Florida,” kataku polos.

“Tenang saja, kau bisa pakai bajuku. Sepertinya ukuran tubuh kita sama,” sahut Emily. Lalu kami mengobrol tentang banyak hal.

Tetapi entah mengapa, aku mempunyai firasat buruk tentang pesta itu. Dan aku juga tidak tahu kalau pesta itu akan mengubah hidupku. Selamanya.

https://nephobox.com/s/1hri8HVLl5EUgOZrS9N879g

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *